Kamis, 12 April 2012

PADANG Menjadi Kota METROPOLITAN

Sesuai pengertian dalam PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional bahwa kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri dari atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
Dengan demikian dalam penetapan kawasan metropolitan dapat disampaikan kriteria sebagai berikut:
a.      Memiliki jumlah penduduk paling sedikit 1.000.000 (satu juta) jiwa.
b.      Terdiri atas satu  kawasan  perkotaan  inti dan  beberapa  kawasan  perkotaan disekitarnya yang menjadi kawasan perkotaan satelit dan membentuk satu kesatuan pusat perkotaan.
c.       Terdapat  keterkaitan   fungsi   antar  kawasan   perkotaan   dalam   satu   sistem metropolitan.


dengan demikina apakah kota padang sudah bisa dikatakan sebagai KOTA METROPOLITAN.....????????

Pengertian Teori Evaluasi dalam Penelitian

Pengertian Teori Evaluasi dalam Penelitian

Pengertian evaluasi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti penilaian; hasil. Menurut Bryan & White (1987), evaluasi adalah upaya untuk mendokumentasi dan melakukan penilaian tentang apa yang terjadi dan juga mengapa hal itu terjadi, evaluasi yang paling sederhana adalah mengumpulkan informasi tentang keadaan sebelum dan sesudah pelaksanaan suatu program/rencana.

Pengertian evaluasi menurut Charles O. Jones dalam Aprilia (2009) adalah “evaluation is an activity which can contribute greatly to the understanding and improvement of policy development and implementation” (evaluasi adalah kegiatan yang dapat menyumbangkan pengertian yang besar nilainya dan dapat pula membantu penyempurnaan pelaksanaan kebijakan beserta perkembangannya). Pengertian tersebut menjelaskan bahwa kegiatan evaluasi dapat mengetahui apakah pelaksanaan suatu program sudah sesuai dengan tujuan utama, yang selanjutnya kegiatan evaluasi tersebut dapat menjadi tolak ukur apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan layak diteruskan, perlu diperbaiki atau dihentikan kegiatannya.
Menurut PP No. 39 Tahun 2006, Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar.

Menurut Ernest R. Alexander dalam Aminudin (2007), metode evaluasi dapat diklasifikasikan menjadi lima yaitu :
1)    Before and after comparisons, metode ini mengkaji suatu obyek penelitian dengan membandingkan antara kondisi sebelum dan kondisi sesudahnya.
2)    Actual versus planned performance comparisons,  metode ini mengkaji suatu obyek penelitian dengan membandingkan kondisi yang ada (actual) dengan ketetapan perencanaan yang ada (planned)
3)    Experintal (controlled) model, metode yang mengkaji suatu obyek penelitian dengan melakukan percobaan yang terkendali untuk mengetahui kondisi yang diteliti.
4)    Quasi experimental models, merupakan metode yang mengkaji suatu obyek penelitian dengan melakukan percobaan tanpa melakukan pengontrolan/pengendalian terhadap kondisi yang diteliti.
5)    Cost oriented models, metode ini mengkaji suatu obyek penelitian yang hanya berdasarkan pada penilaian biaya terhadap suatu rencana.

Menurut Scriven (1999) ada dua model evaluasi yaitu:
A. Goal Free Evaluation
Dalam melaksanakan evaluasi program, evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program, yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya (kinerja) suatu program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi (pengaruh) baik hal-hal yang positif (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang negatif (yang tidak diharapkan).

B. Evaluasi formatif-sumatif
Evaluasi formatif adalah suatu evaluasi yang biasanya dilakukan ketika suatu program tertentu sedang dikembangkan dan biasanya dilakukan lebih dari sekali dengan tujuan untuk melakukan perbaikan. Tujuan dari evaluasi formatif adalah untuk memastikan tujuan yang diharapkan dapat tercapai dan untuk melakukan perbaikan suatu produk atau program. evaluasi formatif dilakukan untuk memberikan informasi evaluatif yang bermanfaat untuk memperbaiki suatu program. ada dua faktor yang mempengaruhi kegunaan evaluasi formatif, yaitu kontrol dan waktu.

Evaluasi sumatif yaitu penilaian hasil-hasil yang telah dicapai secara keseluruhan dari awal kegiatan sampai akhir kegiatan. Waktu pelaksanaan pada saat akhir proyek sesuai dengan jangka waktu proyek dilaksanakan. Untuk evaluasi yang menilai dampak proyek, dapat dilaksanakan setelah proyek berakhir dan diperhitungkan dampaknya sudah terlihat nyata.


Menurut P.P No 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, di dalam pelaksanaannya, kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada berbagai tahapan yang berbeda, yaitu;
1)    Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante), yaitu evaluasi dilakukan sebelum ditetapkannya rencana pembangunan dengan tujuan untuk memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya;
2)    Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going), yaitu evaluasi dilakukan pada saat pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya, dan
3)    Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post), yaitu evaluasi yang dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi masalah pembangunan yang ingin dipecahkan. Evaluasi ini digunakan untuk menilai efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan masukan), efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran), ataupun manfaat (dampak terhadap kebutuhan) dari suatu program.



Daftar Pustaka:

Aminudin, Muhammad. 2007. Evaluasi Rencana Lokasi Pemindahan Terminal Induk Km. 6 Banjarmasin. (Tesis). Yogyakarta: MPKD Universitas Gadjah Mada.

Aprilia, Hera. 2009. Evaluasi Pelaksanaan Program Transmigrasi Lokal Model Ring I Pola Tani Nelayan di Bugel, Kec. Panjatan, Kab. Kulon Progo dan Gesing, Kec. Panggang Kab. Gunung Kidul. (Tesis). Yogyakarta: MPKD Universitas Gadjah Mada.

Bryan, Carolie dan Louis G. White., 1987. Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang. LP3ES. Jakarta.

Scriven, M. (1991). Evaluation thesaurus (4th ed.). Newbury Park, CA: Sage. (www.hfrp.org. diakses 1 April 2011)

Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan

FASILITAS- mencoba berbagi




2.1.   Defenisi Fasilitas
Fasilitas merpakan bangunan atau ruang terbuka. Istilah umum ini di pakai untuk menunjuk kepada sat unsre penting dalam aset ata pemberian jasa pelayanan dengan fungsi tertentu kepada masyarakat  maupn perorangan berupa kemudahan kehidupan masyarakt dan pemerintah ( Kamus Tata Ruang : 1997 ). Menurut standar PU sarana dan prasarana, fasilitas adalah komponen kawasan yang funsi utamanya melayani kehidpan masyarakat yang menjadi tanggng jawab pemerintah, swasta, maupun masyarakat itu sendiri.

Menurut Permendagri No. 1 tahun 1987 Tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah, yang dimaksud Fasilitas Sosial adalah fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam lingkungan permukiman, yang meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, rekreasi dan kebudayaan, olah raga dan lapangan terbuka, serta pemakaman umum. Sedangkan menurut Sujarto (1989 dalam Muharani, 2003), fasilitas sosial dapat diartikan sebagai aktivitas atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental dan spriritual; diantaranya adalah fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, fasilitas kesehatan dan fasilitas kemasyarakatan, fasilitas rekreasi dan olah raga serta pekuburan.

2.2.   Tinjauan Fasilitas Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Bila dihubungkan dengan definisi fasilitas sosial yang diuraikan sebelumnya maka fasilitas pendidikan dapat diartikan sebagai aktifitas atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental dan spriritual melalui perwujudan suasana belajar dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas pendidikan tentunya harus memperhatikan jenis fasilitas yang benar-benar dibutuhkan yang disesuaikan dengan kondisi keadaan masyarakat yang menjadi targetnya. Terdapat empat jenis fasilitas pendidikan menurut Kepmen PU No. 378/KPTS/1987, yaitu:
  1.  Taman Kanak-kanak, yaitu fasilitas pendidikan paling dasar yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 5-6 tahun.
  2. Sekolah Dasar, yaitu fasilitas pendidikan yang disediakan untuk anak-anak usia antara 7-12 tahun.
  3. Sekolah Menengah Pertama, yaitu fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan Sekolah Dasar.
  4. Sekolah Menengah Umum, yaitu fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan SMP.

Begitu pula dengan melihat faktor usia ini, UU No. 20 tahun 2003 membagi tahapan pendidikan dalam tiga jenjang yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.

2.3.   Pemerataan Fasilitas Pendidikan
Friedman dan Nozick (1974) berpendapat bahwa pemerataan harus dilihat dalam konteks ’akses.’ Artinya semua orang memiliki hak yang sama dalam mengakses. Bila dikaitkan dengan fasilitas pendidikan maka yang dimaksud pemerataan fasilitas pendidikan adalah fasilitas pendidikan yang disediakan harus bias memenuhi kebutuhan hak akses masyarakat akan pendidikan tanpa terkecuali, tidak ada masyarakat yang tidak bisa mengakses. Merata di sini tidak berarti setiap wilayah memiliki jumlah fasilitas yang sama, namun disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Penyesuaian kebutuhan ini didasarkan pada jumlah penduduk yang membutuhkan fasilitas ini dengan mengacu pada standar-standar dan pertimbangan dalam penyediaan fasilitas pendidikan yang diantaranya akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Begitu pula selanjutnya di Pasal 11 Undang-Undang Sisdiknas ini dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Dari kedua pasal undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa masalah pemerataan pendidikan sangat perlu diperhatikan, dan pemerintah mempunyai kewajiban dalam mewujudkannya.

2.4.            Aksesibilitas Fasilitas Pendidikan
Menurut Black (1981, dalam Nuraini, 2002) aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas juga didefinisikan oleh Tamin, (1997 dalam Nuraini, 2002) sebagai suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui system jaringan transportasi. Ukuran mengenai mudah atau susahnya suatu lokasi dicapai, salah satunya dinyatakan oleh Moseley (1979), ia menyatakan bahwa aksesibilitas suatu tempat adalah fungsi dari kedekatan terhadap tempat tujuan-tujuan alternatif dari berbagai utilitas, yang diukur dengan indikator waktu, jarak dan biaya. Jadi bias dikatakan bahwa ukuran aksesibilitas itu adalah waktu, jarak dan biaya. Tata guna lahan yang berbeda pasti mempunyai aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tata guna lahan tersebut tersebar dalam ruang secara tidak merata. Sehingga jarak, yang biasanya dijadikan indikator aksesibilitas yang sering digunakan, akan dirasakan kurang cocok untuk digunakan sebagai ukuran aksesibilitas terutama di daerah yang tidak rata. Maka penggunaan waktu tempuh sebagai ukuran aksesibilitas akan mulai dirasakan lebih baik dibandingkan jarak (Nuraini, 2002).

2.5.   Teori Lokasi
Menurut Gunawan (1981) lokasi adalah suatu area yang secara umum dapat dikenali atau dibatasi, dimana disana terjadi suatu kegiatan tertentu. Pada hakekatnya dikatakan bahwa teori lokasi merupakan usaha-usaha untuk memperoleh pedoman dalam penentuan lokasi kegiatan atau dalam usaha untuk dapat mengisi ruang dengan efisien dan optimal. Salah satu teori lokasi yang mendasari pendistribusian lokasi fasilitas yang memberikan pelayanan berupa jasa adalah teori yang dikemukakan oleh Palander (dalam Agustin 2006). Menurut teori ini setiap kegiatan yang akan menghasilkan barang dan jasa mempunyai pertimbangan ambang penduduk dan jangkauan pasar. Yang dimaksud ambang penduduk (threshold population) adalah jumlah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk kelancaran dan kesinambungan penawaran barang. Kalau jumlah tersebut jatuh di bawah jumlah tertentu maka pelayanan akan menjadi mahal dan kurang efisien, begitu pula jika meningkat di atas jumlah tertentu maka pelayanan akan menjadi kurang baik dan kurang efektif. Sedangkan jangkauan pasar (range) adalah jarak yang perlu ditempuh seseorang untuk mendapatkan jasa yang bersangkutan. Lebih jauh dari jarak ini, maka orang. akan mencari tempat lain yang lokasinya lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan akan jasa yang sama.

Penentuan pendistribusian pusat pelayanan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu (Sujarto, 1989 dalam Agustin, 2006):
  1. Faktor manusia yang akan mempergunakan pusat-pusat pelayanan tersebut. Faktor manusia ini menyangkut pertimbangan-pertimbangan mengenai jumlah penduduk yang akan menggunakan pelayanan tersebut, kepadatan penduduk, perkembangan penduduk, status sosial ekonomi masyarakat, nilai-nilai, potensi masyarakat, pola kebudayaan, dan antropologi.
  2. Faktor lingkungan dimana manusia tersebut melaksanakan kegiatan kehidupannya. Ini menyangkut pertimbangan skala lingkungan dalam arti fungsi dan peranan sosial ekonominya, jaringan pergerakan, letak geografis lingkungan dan sifat keterpusatan lingkungan.

2.6.   Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Standar sarana dan prasarana ini merupakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007. Standar ini mencakup standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA). Ketentuan yang diatur dalam standar ini meliputi satuan pendidikan, luasan lahan, bangunan gedung, prasarana dan sarana yang harus dimiliki fasilitas pendidikan beserta ketentuannya. Dalam penelitian ini hanya akan meninjau mengenai satuan pendidikannya saja yang didalamnya diatur mengenai banyaknya rombongan belajar, batas maksimum jumlah penduduk yang dilayani, dan area pelayanan satu fasilitas pendidikan.
    A. Standar Satuan Pendidikan SD/MI
1.      Satu SD/MI memiliki minimum 6 rombongan belajar dan maksimum 24 rombongan belajar.
2.      Satu SD/MI dengan enam rombongan belajar melayani maksimum 2000 jiwa. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 2000 jiwa dilakukan penambahan rombongan belajar di sekolah yang telah ada, dan bila rombongan belajar lebih dari 24 dilakukan pembangunan SD/MI baru.
3.      Satu desa/kelurahan dilayani oleh minimum satu SD/MI.
4.      Satu kelompok permukiman permanen dan terpencil dengan banyak penduduk lebih dari 1000 jiwa dilayani oleh satu SD/MI dalam jarak tempuh bagi peserta didik yang berjalan kaki maksimum 3 km melalui lintasan yang tidak membahayakan.
    B. Standar Satuan Pendidikan SMP/MTs
1.      Satu SMP/MTs memiliki minimum 3 rombongan belajar dan maksimum 24 rombongan belajar.
2.      Satu SMP/MTs dengan tiga rombongan belajar melayani maksimum 2000 jiwa. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 2000 jiwa dilakukan  penambahan rombongan belajar di sekolah yang telah ada, dan bila rombongan belajar lebih dari 24 dilakukan pembangunan SMP/MTs baru.
3.      Satu kecamatan dilayani oleh minimum satu SMP/MTs yang dapat menampung semua lulusan SD/MI di kecamatan tersebut.
4.      Satu kelompok permukiman permanen dan terpencil dengan banyak penduduk lebih dari 1000 jiwa dilayani oleh satu SMP/MTs dalam jarak tempuh bagi peserta didik yang berjalan kaki maksimum 6 km melalui lintasan yang tidak membahayakan.
    C. Standar Satuan Pendidikan SMA/MA
1.      Satu SMA/MA memiliki minimum 3 rombongan belajar dan maksimum 27 rombongan belajar.
2.      Satu SMA/MA dengan tiga rombongan belajar melayani maksimum 6000 jiwa. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombongan belajar di sekolah yang telah ada atau pembangunan SMA/MA baru.

Dalam hal pendistribusian fasilitas pendidikan Departemen PU dalam standar yang dikeluarkannya telah menentukan beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan fasilitas pendidikan yaitu :
1.      Jumlah penduduk pendukung yang akan dilayani.
2.      Struktur penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin (untuk menentukan jenis dan tipe sekolah)
3.      Pertumbuhan dan perkembangan penduduk
4.      Keadaan sosial ekonomi penduduk.

2.8    Standar dan Ketentuan mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan SMP dan SMA
Standar sarana dan prasarana Departemen Pendidikan Nasional terbaru hanya memberikan batasan jarak sebagai kriteria layanan untuk daerah terpencil saja, sedangkan kriteria batasan jarak dan waktu tempuh untuk kondisi umum tidak diuraikan dalam standar ini. Untuk itulah maka standar sarana dan prasarana fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan yang dikeluarkan sebelumnya masih layak digunakan. Dalam Standar Fasilitas Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini dijelaskan kriteria lokasi fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas sebagai berikut:

A. Lokasi sebuah SMP harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan
  2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 30 menit berjalan kaki
  3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan/ perkantoran/ perindustrian)
B. Lokasi sebuah SMA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan
  2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 45 menit berjalan kaki
  3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan/ perkantoran/ perindustrian).

Selain dari Departemen Pendidikan Nasional, standar dalam penentuan lahan sekolah juga terdapat pada Pedoman Perencanaan Gedung Sekolah dari Departemen Pekerjaan Umum. Berdasarkan standar ini, lokasi bangunan sekolah perlu mempertimbangkan aspek-aspek:
1.         Lokasi disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan mendapat persetujuan pemerintah daerah bersangkutan untuk mendapatkan ijin pendirian bangunan termasuk rencana perluasan lahan dan bangunannya.
2.      Kepadatan dan potensi penduduk (prosentase penduduk usia sekolah) harus mendukung kegiatan pendidikan sehingga hal ini selain akan dapat menentukan lokasi sekolah juga dapat menentukan jenis dan tipe sekolah.
3.      Radius pencapaian ditentukan oleh jarak capai/ tempuh, faktor usia, kemampuan fisik siswa dan sarana transportasi. Radius pencapaian dari sekolah menengah umum ditentukan maksimum 5 km atau 1 jam perjalanan (berjalan kaki). Lokasi harus dihindarkan dari lalu lintas berkepadatan tinggi untuk menghindari kecelakaan dan kemacetan.
4.      Keadaan lingkungan sangat menentukan lokasi pembangunan fisik sekolah. Lingkungan dibedakan dalam lingkungan alami, yaitu geografi/ topografi, klimatologi, serta flora dan fauna, serta lingkungan buatan seperti prasarana, bangunan dan lingkungan masyarakat (sosial budaya dan sosial ekonomi).

2.9    Standar Penduduk Pendukung Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum
Tabel 2.1
Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU
Jenis Sarana Kota
Jumlah Penduduk
Pendukung (Jiwa)
Jarak

Luas lahan

SD
1600

Mudah dicapai
dengan radius
pencapaian
maksimum 1000
meter, dihitung
dari unit terjauh
2000 m2

SMTP
4800

Radius
maksimum 1000
meter
9000 m2

SMTA
4800
Radius
maksimum 3 km
dari unit yang
dilayani
1.       1 lantai 2.500 m2
2.       2 lantai 8000 m2
3.       3 lantai 5000 m2
Sumber: Penyempurnaan terhadap Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU, Tata Cara Perencanaan Linkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di Daerah Perkotaan, 2003 dalam Agustin 2006.

Standar jarak dan waktu tempuh untuk sarana fasilitas masyarakat menurut konsep Neighborhood Unit dibagi ke dalam lima kategori sebagai berikut:
Tabel 2.2
Jarak dan Waktu Tempuh dari Tempat Tinggal ke Lokasi Sarana
No.
Kategori
Jarak (meter)
Waktu Tempuh (menit)

Sangat dekat
0-300
0-5

Dekat
300-600
5-10

Sedang
600-1200
10-20

Cukup jauh
1200-3000
20-40

Jauh
>3000
>40
Sumber: Udjianto, 1994 dalam Agustin 2006

Kemudahan dalam penjangkauan lokasi fasilitas pendidikan dijelaskan oleh John Black (1979: 75), bahwa hendaknya dalam mengatur dan merencanakan lokasi fasilitas pendidikan (sekolah), perencana kota perlu memperhatikan system transportasi yang melayani, faktor jarak dari lokasi permukiman serta kesesuaian lahan dengan guna lahan lainnya.

sumber : di dapat dari berbagai macam sumber

Teori Lokasi

TEORI LOKASI


1.      Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti: bahan baku lokal (local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input); dan permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007)
2.      Von Thunen (1826) mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota.
3.      Weber (1909) menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).
4.      Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri, di mana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti dan model ini disebut sistem K = 3. Model Christaller menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold.
5.      Teori Lokasi dari August Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.
6.      D.M. Smith memperkenalkan teori lokasi memaksimumkan laba dengan menjelaskan konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka dapat dibuat kurva biaya rata-rata (per unit produksi) yang bervariasi dengan lokasi. Selisih antara average revenue dikurangi average cost adalah tertinggi maka itulah lokasi yang memberikan keuntungan maksimal.
7.      McGrone (1969) berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidakpastian yang tinggi dan dalam analisis dinamik. Ketidaksempurnaan pengetahuan dan ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model maksimisasi keuntungan lokasi sulit dioperasikan.
8.      Menurut Isard (1956), masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang berbeda-beda. Isard (1956) menekankan pada faktor-faktor jarak, aksesibilitas, dan keuntungan aglomerasi sebagai hal yang utama dalam pengambilan keputusan lokasi. Richardson (1969) mengemukakan bahwa aktivitas ekonomi atau perusahaan cenderung untuk berlokasi pada pusat kegiatan sebagai usaha untuk mengurangi ketidakpastian dalam keputusan yang diambil guna meminimumkan risiko. Dalam hal ini, baik kenyamanan (amenity) maupun keuntungan aglomerasi merupakan faktor penentu lokasi yang penting, yang menjadi daya tarik lokasi karena aglomerasi bagaimanapun juga menghasilkan konsentrasi industri dan aktivitas lainnya.
9.      Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal.
10.  Tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan produksi (industri) itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala besar) secara komprehensif diperlukan gabungan dari berbagai pengetahuan dan disiplin. Berbagai faktor yang ikut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara dan, kebijakan daerah (peraturan daerah).
 
Sumber Buku Ekonomi Regional Karya D.S. Priyarsono 

Perencanaan Wilayah dan Kota

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Pengertian Perencanaan
Perencanaan memiliki banyak definisi. Menurut Dror (1963), perencanaan merupaka suatu proses yang mempersiapkan seperangkat keputusan unutk melakukan tindakan dimasa depan.
Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Perencanaan Kota, Gallion dan Eisner menuliskan bahwa perencanaan adalah suatu upaya untuk menciptakan perkembangan yang teratur di daerah perkotaan dan mengurangi konflik-konflik sosial dan ekonomi yang akan membahayakan kehidupan dan hak milik.

Pengertian Wilayah
Seperti yang tertulis dalam UU RI No. 26 Th. 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 1 ayat 7, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

Pengertian Kota
Prof. Drs, R. Bintarto merumuskan bahwa kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata social ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik.

Pola Perencanaan Kota
Sebuah kota harus dibangun berdasarkan empat dasar. Dasar fisik sebuah kota adalah wujud yang kelihatan berupa bangunan-bangunan, jalan, taman, dan benda-benda lain yang menciptakan bentuk kota tersebut. Dasar ekonomi sebuah kota memberikan alasan bagi eksistensinya. Dasar politik sebuah kota sangat penting bagi ketertiban. Dasar sosial sangat penting supaya kota ada artinya.

KOTA BERKELANJUTAN

Pembangunan berkelanjutan ( sustainable development ) adalah “pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyrakt masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka, sebagai suatu proses perubahan dimana pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pembangunan dan perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan secara sinergis saling memperkuat potensi masa kini maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia” (Brundtland, 1987).
Macam-macam kota menurut kelompok tertentu yang mendominasi:
  • Technopolis : bila yang mendominasi adalah para rekayasawan dan teknolog
  • Profitopolis : jika yang berperan adalah kalangan swasta atau pengusaha
  • Marxopolis : bila yang mendominasi pengambilan keputusan adalah dalam perencanaan dan pembangunan kota adalah pimpina pemerintah daerah
  • Ecopolis : kalau yang lebih berperan adalah adalah dari kalangan ilmuwan dan pakar ahli lingkungan
  • Humanopolis : bila wajah kota ditentukan sendiri sepenuhnya oleh segenap warganya.

Pada abad ke-21 ini, kota-kota dimasa depanharus berpegang teguh pada lima faktor yakni employment (lapangan kerja), environment (keseimbangan lingkungan), equity (keadilan), engagement (peran serta masyarakat maupun swasta), dan energy (energi yang dapt diperbaharui atau yang tidak).

Urban Design (Perancangan Kota)
Urban design merupakan suatu hasil perpaduan kegiatan antara profesu perencana kota, arsitektur, lansekap, rekayasa sipil, dan transportasi dalam wujud fisik. Pencetus urban design ( image of the city )adalah Kevin Lynch pada tahun 1974. Ada lima elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota :
    • Path : Pembatas antara dua bangunan; contoh : jalan, rel kereta api, dll
    • Edge : Untuk pemutus linear; contoh : dinding
    • Distrct : Memiliki ciri khas tertentu; contoh : ruang publik, perdagangan, dll
    • Node : Pertemuan beberapa path, pusat keramaian; contoh : simpang lima
    • Landmark : untuk mengetahui suatu daerah.
Selain itu ada juga kriteria tak terukur yaitu :
  • Akses : Kemudahan, kenyamanan, dan keamanan dalam mencapai tujuan (letak,sirkulasi)
  • Compability : Aktivitas yang berlangsung serta kecocokan tata letak dengan topografi, skala, dan massa bangunan
  • View : Aspek kejelasan antara orientasi manusia terhadap massa bangunan, untuk daya tarik
  • Identity : Sebagai identitas yang dapat dikenali oleh pengamat (citra)
  • Sense : Segala sesuatu yang ditimbulkan, berhubungan dengan sumber kebudayaan
  • Livability : Kenyamanan untuk tinggal di dalamnya
Elemen perancangan kota :
  • Land Use : cerminan hubungan dan keterkaitan antara sirkulasi dan kepadatan aktivitas pada suatu kawasan
  • Building Form and Massing : bentuk dan massa bangunan dapat menunjukan ciri kawasan yang mencakup ketinggian, rasio luas lantai, coverage, skala, dan lain-lain
  • Activity support : Pendukung kegiatan terdiri dari semua kegiatan yang memperkuat penggunaan ruang publik
  • Open space : Lahan kosong di kota untuk dijadikan taman sehingga harus dilakukan secara integral dengan perencanaan bangunan dan saling menunjang
  • Pedestrian ways : Jalur pejalan kaki, untuk mendukung aktivitas kawasan, juga untuk estetika terutama pada pusat kota
  • Circulation and parking : Sistem pergerakan dan elemen utama yang dapat memberi bentuk lingkungan kota
  • Signage : Menunjukan arah dan fungsi bangunan serta kawasan tertentu, penandaan tidak hanya dilakukan dengan pemberian papan nama tetapi dpaat dilakukan dengan berntuk atau ciri visual lainnya
  • Preservation : upaya pelestarian harus mampu melindungi kelestarian lingkungan yang telah ada dan ruang-ruang kawasan yang sudah terbentuk seperti kawasan bersejarah
Elemen estetika antara lain : sumbu, simetri, hirarki, irama, kontras, balance, dan skala.

Teori Perancangan Kota
Tiga pendekatan teori perancangan kota :
  • Teori figure ground
  • Teori linkage
  • Teori place