2.1. Defenisi
Fasilitas
Fasilitas
merpakan bangunan atau ruang terbuka. Istilah umum ini di pakai untuk menunjuk
kepada sat unsre penting dalam aset ata pemberian jasa pelayanan dengan fungsi
tertentu kepada masyarakat maupn
perorangan berupa kemudahan kehidupan masyarakt dan pemerintah ( Kamus Tata
Ruang : 1997 ). Menurut standar PU sarana dan prasarana, fasilitas adalah
komponen kawasan yang funsi utamanya melayani kehidpan masyarakat yang menjadi
tanggng jawab pemerintah, swasta, maupun masyarakat itu sendiri.
Menurut Permendagri No. 1 tahun 1987 Tentang
Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan
kepada Pemerintah Daerah, yang dimaksud Fasilitas Sosial adalah fasilitas yang
dibutuhkan oleh masyarakat dalam lingkungan permukiman, yang meliputi fasilitas
pendidikan, fasilitas kesehatan, rekreasi dan kebudayaan, olah raga dan
lapangan terbuka, serta pemakaman umum. Sedangkan menurut Sujarto (1989 dalam
Muharani, 2003), fasilitas sosial dapat diartikan sebagai aktivitas atau materi
yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat memberi
kepuasan sosial, mental dan spriritual; diantaranya adalah fasilitas
pendidikan, fasilitas peribadatan, fasilitas kesehatan dan fasilitas
kemasyarakatan, fasilitas rekreasi dan olah raga serta pekuburan.
2.2. Tinjauan
Fasilitas Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa yang dimaksud pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara. Bila dihubungkan dengan definisi fasilitas sosial yang diuraikan
sebelumnya maka fasilitas pendidikan dapat diartikan sebagai aktifitas atau
materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat
memberi kepuasan sosial, mental dan spriritual melalui perwujudan suasana
belajar dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas pendidikan
tentunya harus memperhatikan jenis fasilitas yang benar-benar dibutuhkan yang
disesuaikan dengan kondisi keadaan masyarakat yang menjadi targetnya. Terdapat
empat jenis fasilitas pendidikan menurut Kepmen PU No. 378/KPTS/1987, yaitu:
- Taman
Kanak-kanak, yaitu fasilitas pendidikan paling dasar yang diperuntukkan
bagi anak-anak usia 5-6 tahun.
- Sekolah Dasar, yaitu
fasilitas pendidikan yang disediakan untuk anak-anak usia antara 7-12
tahun.
- Sekolah Menengah Pertama,
yaitu fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani
anak-anak lulusan Sekolah Dasar.
- Sekolah Menengah Umum,
yaitu fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani
anak-anak lulusan SMP.
Begitu pula dengan melihat faktor usia ini, UU No. 20
tahun 2003 membagi tahapan pendidikan dalam tiga jenjang yaitu pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan
yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan menengah merupakan lanjutan
pendidikan dasar. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
2.3. Pemerataan
Fasilitas Pendidikan
Friedman dan Nozick (1974) berpendapat bahwa
pemerataan harus dilihat dalam konteks ’akses.’ Artinya semua orang memiliki
hak yang sama dalam mengakses. Bila dikaitkan dengan fasilitas pendidikan maka
yang dimaksud pemerataan fasilitas pendidikan adalah fasilitas pendidikan yang
disediakan harus bias memenuhi kebutuhan hak akses masyarakat akan pendidikan
tanpa terkecuali, tidak ada masyarakat yang tidak bisa mengakses. Merata di
sini tidak berarti setiap wilayah memiliki jumlah fasilitas yang sama, namun
disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Penyesuaian kebutuhan ini didasarkan
pada jumlah penduduk yang membutuhkan fasilitas ini dengan mengacu pada
standar-standar dan pertimbangan dalam penyediaan fasilitas pendidikan yang
diantaranya akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Begitu pula
selanjutnya di Pasal 11 Undang-Undang Sisdiknas ini dinyatakan bahwa pemerintah
dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Dari kedua pasal undang-undang tersebut secara jelas
menyatakan bahwa masalah pemerataan pendidikan sangat perlu diperhatikan, dan
pemerintah mempunyai kewajiban dalam mewujudkannya.
2.4.
Aksesibilitas Fasilitas Pendidikan
Menurut Black (1981, dalam Nuraini, 2002)
aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna
lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang
menghubungkannya. Aksesibilitas juga didefinisikan oleh Tamin, (1997 dalam
Nuraini, 2002) sebagai suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi
tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi
tersebut dicapai melalui system jaringan transportasi. Ukuran mengenai mudah
atau susahnya suatu lokasi dicapai, salah satunya dinyatakan oleh Moseley
(1979), ia menyatakan bahwa aksesibilitas suatu tempat adalah fungsi dari
kedekatan terhadap tempat tujuan-tujuan alternatif dari berbagai utilitas, yang
diukur dengan indikator waktu, jarak dan biaya. Jadi bias dikatakan bahwa
ukuran aksesibilitas itu adalah waktu, jarak dan biaya. Tata guna lahan yang
berbeda pasti mempunyai aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tata
guna lahan tersebut tersebar dalam ruang secara tidak merata. Sehingga jarak,
yang biasanya dijadikan indikator aksesibilitas yang sering digunakan, akan
dirasakan kurang cocok untuk digunakan sebagai ukuran aksesibilitas terutama di
daerah yang tidak rata. Maka penggunaan waktu tempuh sebagai ukuran
aksesibilitas akan mulai dirasakan lebih baik dibandingkan jarak (Nuraini,
2002).
2.5. Teori
Lokasi
Menurut Gunawan (1981) lokasi adalah suatu area yang
secara umum dapat dikenali atau dibatasi, dimana disana terjadi suatu kegiatan
tertentu. Pada hakekatnya dikatakan bahwa teori lokasi merupakan usaha-usaha
untuk memperoleh pedoman dalam penentuan lokasi kegiatan atau dalam usaha untuk
dapat mengisi ruang dengan efisien dan optimal. Salah satu teori lokasi yang
mendasari pendistribusian lokasi fasilitas yang memberikan pelayanan berupa
jasa adalah teori yang dikemukakan oleh Palander (dalam Agustin 2006). Menurut teori
ini setiap kegiatan yang akan menghasilkan barang dan jasa mempunyai
pertimbangan ambang penduduk dan jangkauan pasar. Yang dimaksud ambang penduduk
(threshold population) adalah jumlah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk
kelancaran dan kesinambungan penawaran barang. Kalau jumlah tersebut jatuh di
bawah jumlah tertentu maka pelayanan akan menjadi mahal dan kurang efisien,
begitu pula jika meningkat di atas jumlah tertentu maka pelayanan akan menjadi
kurang baik dan kurang efektif. Sedangkan jangkauan pasar (range) adalah jarak
yang perlu ditempuh seseorang untuk mendapatkan jasa yang bersangkutan. Lebih
jauh dari jarak ini, maka orang. akan mencari tempat lain yang lokasinya lebih
dekat untuk memenuhi kebutuhan akan jasa yang sama.
Penentuan pendistribusian pusat pelayanan dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu (Sujarto, 1989 dalam Agustin, 2006):
- Faktor manusia yang akan
mempergunakan pusat-pusat pelayanan tersebut. Faktor manusia ini
menyangkut pertimbangan-pertimbangan mengenai jumlah penduduk yang akan
menggunakan pelayanan tersebut, kepadatan penduduk, perkembangan penduduk,
status sosial ekonomi masyarakat, nilai-nilai, potensi masyarakat, pola
kebudayaan, dan antropologi.
- Faktor lingkungan dimana
manusia tersebut melaksanakan kegiatan kehidupannya. Ini menyangkut
pertimbangan skala lingkungan dalam arti fungsi dan peranan sosial
ekonominya, jaringan pergerakan, letak geografis lingkungan dan sifat
keterpusatan lingkungan.
2.6. Standar
Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia
Standar sarana dan prasarana ini merupakan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007. Standar ini
mencakup standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah
(SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah
atas/madrasah aliyah (SMA/MA). Ketentuan yang diatur dalam standar ini meliputi
satuan pendidikan, luasan lahan, bangunan gedung, prasarana dan sarana yang
harus dimiliki fasilitas pendidikan beserta ketentuannya. Dalam penelitian ini
hanya akan meninjau mengenai satuan pendidikannya saja yang didalamnya diatur
mengenai banyaknya rombongan belajar, batas maksimum jumlah penduduk yang
dilayani, dan area pelayanan satu fasilitas pendidikan.
A.
Standar Satuan Pendidikan SD/MI
1. Satu
SD/MI memiliki minimum 6 rombongan belajar dan maksimum 24 rombongan belajar.
2. Satu
SD/MI dengan enam rombongan belajar melayani maksimum 2000 jiwa. Untuk
pelayanan penduduk lebih dari 2000 jiwa dilakukan penambahan rombongan belajar
di sekolah yang telah ada, dan bila rombongan belajar lebih dari 24 dilakukan
pembangunan SD/MI baru.
3.
Satu
desa/kelurahan dilayani oleh minimum satu SD/MI.
4.
Satu
kelompok permukiman permanen dan terpencil dengan banyak penduduk lebih dari
1000 jiwa dilayani oleh satu SD/MI dalam jarak tempuh bagi peserta didik yang
berjalan kaki maksimum 3 km melalui lintasan yang tidak membahayakan.
B. Standar Satuan Pendidikan SMP/MTs
1. Satu
SMP/MTs memiliki minimum 3 rombongan belajar dan maksimum 24 rombongan belajar.
2. Satu
SMP/MTs dengan tiga rombongan belajar melayani maksimum 2000 jiwa. Untuk
pelayanan penduduk lebih dari 2000 jiwa dilakukan penambahan rombongan belajar di sekolah yang
telah ada, dan bila rombongan belajar lebih dari 24 dilakukan pembangunan
SMP/MTs baru.
3. Satu
kecamatan dilayani oleh minimum satu SMP/MTs yang dapat menampung semua lulusan
SD/MI di kecamatan tersebut.
4. Satu
kelompok permukiman permanen dan terpencil dengan banyak penduduk lebih dari
1000 jiwa dilayani oleh satu SMP/MTs dalam jarak tempuh bagi peserta didik yang
berjalan kaki maksimum 6 km melalui lintasan yang tidak membahayakan.
C.
Standar Satuan Pendidikan SMA/MA
1. Satu
SMA/MA memiliki minimum 3 rombongan belajar dan maksimum 27 rombongan belajar.
2. Satu
SMA/MA dengan tiga rombongan belajar melayani maksimum 6000 jiwa. Untuk
pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombongan
belajar di sekolah yang telah ada atau pembangunan SMA/MA baru.
Dalam hal pendistribusian fasilitas pendidikan
Departemen PU dalam standar yang dikeluarkannya telah menentukan beberapa
faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan fasilitas pendidikan yaitu :
1. Jumlah
penduduk pendukung yang akan dilayani.
2. Struktur
penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin (untuk menentukan jenis dan
tipe sekolah)
3. Pertumbuhan
dan perkembangan penduduk
4. Keadaan
sosial ekonomi penduduk.
2.8 Standar
dan Ketentuan mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan SMP dan SMA
Standar sarana dan prasarana Departemen Pendidikan
Nasional terbaru hanya memberikan batasan jarak sebagai kriteria layanan untuk
daerah terpencil saja, sedangkan kriteria batasan jarak dan waktu tempuh untuk
kondisi umum tidak diuraikan dalam standar ini. Untuk itulah maka standar
sarana dan prasarana fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan yang
dikeluarkan sebelumnya masih layak digunakan. Dalam Standar Fasilitas
Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini dijelaskan kriteria lokasi
fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas
sebagai berikut:
A. Lokasi sebuah SMP harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
- Mudah dicapai dari setiap
bagian kecamatan
- Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari
30 menit berjalan kaki
- Jauh dari pusat keramaian (pertokoan/
perkantoran/ perindustrian)
B. Lokasi
sebuah SMA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan
- Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari
45 menit berjalan kaki
- Jauh dari pusat keramaian (pertokoan/
perkantoran/ perindustrian).
Selain
dari Departemen Pendidikan Nasional, standar dalam penentuan lahan sekolah juga
terdapat pada Pedoman Perencanaan Gedung Sekolah dari Departemen Pekerjaan
Umum. Berdasarkan standar
ini, lokasi bangunan sekolah perlu mempertimbangkan aspek-aspek:
1.
Lokasi
disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan mendapat
persetujuan pemerintah daerah bersangkutan untuk mendapatkan ijin pendirian
bangunan termasuk rencana perluasan lahan dan bangunannya.
2.
Kepadatan
dan potensi penduduk (prosentase penduduk usia sekolah) harus mendukung
kegiatan pendidikan sehingga hal ini selain akan dapat menentukan lokasi
sekolah juga dapat menentukan jenis dan tipe sekolah.
3.
Radius
pencapaian ditentukan oleh jarak capai/ tempuh, faktor usia, kemampuan fisik
siswa dan sarana transportasi. Radius pencapaian dari sekolah menengah umum
ditentukan maksimum 5 km atau 1 jam perjalanan (berjalan kaki). Lokasi harus
dihindarkan dari lalu lintas berkepadatan tinggi untuk menghindari kecelakaan
dan kemacetan.
4.
Keadaan
lingkungan sangat menentukan lokasi pembangunan fisik sekolah. Lingkungan
dibedakan dalam lingkungan alami, yaitu geografi/ topografi, klimatologi, serta
flora dan fauna, serta lingkungan buatan seperti prasarana, bangunan dan
lingkungan masyarakat (sosial budaya dan sosial ekonomi).
2.9
Standar Penduduk Pendukung Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya Departemen
Pekerjaan Umum
Tabel 2.1
Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta
Karya Departemen PU
Jenis Sarana Kota
|
Jumlah Penduduk
Pendukung (Jiwa)
|
Jarak
|
Luas lahan
|
SD
|
1600
|
Mudah dicapai
dengan radius
pencapaian
maksimum 1000
meter, dihitung
dari unit terjauh
|
2000 m2
|
SMTP
|
4800
|
Radius
maksimum 1000
meter
|
9000 m2
|
SMTA
|
4800
|
Radius
maksimum 3 km
dari unit yang
dilayani
|
1. 1 lantai 2.500 m2
2. 2 lantai 8000 m2
3.
3 lantai 5000
m2
|
Sumber: Penyempurnaan
terhadap Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen
PU, Tata Cara Perencanaan Linkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di
Daerah Perkotaan, 2003 dalam Agustin 2006.
Standar jarak dan waktu tempuh untuk sarana fasilitas
masyarakat menurut konsep Neighborhood Unit dibagi ke dalam lima kategori sebagai
berikut:
Tabel 2.2
Jarak dan Waktu Tempuh dari Tempat Tinggal ke Lokasi Sarana
No.
|
Kategori
|
Jarak (meter)
|
Waktu Tempuh (menit)
|
|
Sangat dekat
|
0-300
|
0-5
|
|
Dekat
|
300-600
|
5-10
|
|
Sedang
|
600-1200
|
10-20
|
|
Cukup jauh
|
1200-3000
|
20-40
|
|
Jauh
|
>3000
|
>40
|
Sumber: Udjianto, 1994 dalam Agustin 2006
Kemudahan dalam penjangkauan lokasi fasilitas
pendidikan dijelaskan oleh John Black (1979: 75), bahwa hendaknya dalam
mengatur dan merencanakan lokasi fasilitas pendidikan (sekolah), perencana kota
perlu memperhatikan system transportasi yang melayani, faktor jarak dari lokasi
permukiman serta kesesuaian lahan dengan guna lahan lainnya.
sumber : di dapat dari berbagai macam sumber