Kamis, 12 April 2012

FASILITAS- mencoba berbagi




2.1.   Defenisi Fasilitas
Fasilitas merpakan bangunan atau ruang terbuka. Istilah umum ini di pakai untuk menunjuk kepada sat unsre penting dalam aset ata pemberian jasa pelayanan dengan fungsi tertentu kepada masyarakat  maupn perorangan berupa kemudahan kehidupan masyarakt dan pemerintah ( Kamus Tata Ruang : 1997 ). Menurut standar PU sarana dan prasarana, fasilitas adalah komponen kawasan yang funsi utamanya melayani kehidpan masyarakat yang menjadi tanggng jawab pemerintah, swasta, maupun masyarakat itu sendiri.

Menurut Permendagri No. 1 tahun 1987 Tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah, yang dimaksud Fasilitas Sosial adalah fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam lingkungan permukiman, yang meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, rekreasi dan kebudayaan, olah raga dan lapangan terbuka, serta pemakaman umum. Sedangkan menurut Sujarto (1989 dalam Muharani, 2003), fasilitas sosial dapat diartikan sebagai aktivitas atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental dan spriritual; diantaranya adalah fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, fasilitas kesehatan dan fasilitas kemasyarakatan, fasilitas rekreasi dan olah raga serta pekuburan.

2.2.   Tinjauan Fasilitas Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Bila dihubungkan dengan definisi fasilitas sosial yang diuraikan sebelumnya maka fasilitas pendidikan dapat diartikan sebagai aktifitas atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental dan spriritual melalui perwujudan suasana belajar dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas pendidikan tentunya harus memperhatikan jenis fasilitas yang benar-benar dibutuhkan yang disesuaikan dengan kondisi keadaan masyarakat yang menjadi targetnya. Terdapat empat jenis fasilitas pendidikan menurut Kepmen PU No. 378/KPTS/1987, yaitu:
  1.  Taman Kanak-kanak, yaitu fasilitas pendidikan paling dasar yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 5-6 tahun.
  2. Sekolah Dasar, yaitu fasilitas pendidikan yang disediakan untuk anak-anak usia antara 7-12 tahun.
  3. Sekolah Menengah Pertama, yaitu fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan Sekolah Dasar.
  4. Sekolah Menengah Umum, yaitu fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan SMP.

Begitu pula dengan melihat faktor usia ini, UU No. 20 tahun 2003 membagi tahapan pendidikan dalam tiga jenjang yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.

2.3.   Pemerataan Fasilitas Pendidikan
Friedman dan Nozick (1974) berpendapat bahwa pemerataan harus dilihat dalam konteks ’akses.’ Artinya semua orang memiliki hak yang sama dalam mengakses. Bila dikaitkan dengan fasilitas pendidikan maka yang dimaksud pemerataan fasilitas pendidikan adalah fasilitas pendidikan yang disediakan harus bias memenuhi kebutuhan hak akses masyarakat akan pendidikan tanpa terkecuali, tidak ada masyarakat yang tidak bisa mengakses. Merata di sini tidak berarti setiap wilayah memiliki jumlah fasilitas yang sama, namun disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Penyesuaian kebutuhan ini didasarkan pada jumlah penduduk yang membutuhkan fasilitas ini dengan mengacu pada standar-standar dan pertimbangan dalam penyediaan fasilitas pendidikan yang diantaranya akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Begitu pula selanjutnya di Pasal 11 Undang-Undang Sisdiknas ini dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Dari kedua pasal undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa masalah pemerataan pendidikan sangat perlu diperhatikan, dan pemerintah mempunyai kewajiban dalam mewujudkannya.

2.4.            Aksesibilitas Fasilitas Pendidikan
Menurut Black (1981, dalam Nuraini, 2002) aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas juga didefinisikan oleh Tamin, (1997 dalam Nuraini, 2002) sebagai suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui system jaringan transportasi. Ukuran mengenai mudah atau susahnya suatu lokasi dicapai, salah satunya dinyatakan oleh Moseley (1979), ia menyatakan bahwa aksesibilitas suatu tempat adalah fungsi dari kedekatan terhadap tempat tujuan-tujuan alternatif dari berbagai utilitas, yang diukur dengan indikator waktu, jarak dan biaya. Jadi bias dikatakan bahwa ukuran aksesibilitas itu adalah waktu, jarak dan biaya. Tata guna lahan yang berbeda pasti mempunyai aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tata guna lahan tersebut tersebar dalam ruang secara tidak merata. Sehingga jarak, yang biasanya dijadikan indikator aksesibilitas yang sering digunakan, akan dirasakan kurang cocok untuk digunakan sebagai ukuran aksesibilitas terutama di daerah yang tidak rata. Maka penggunaan waktu tempuh sebagai ukuran aksesibilitas akan mulai dirasakan lebih baik dibandingkan jarak (Nuraini, 2002).

2.5.   Teori Lokasi
Menurut Gunawan (1981) lokasi adalah suatu area yang secara umum dapat dikenali atau dibatasi, dimana disana terjadi suatu kegiatan tertentu. Pada hakekatnya dikatakan bahwa teori lokasi merupakan usaha-usaha untuk memperoleh pedoman dalam penentuan lokasi kegiatan atau dalam usaha untuk dapat mengisi ruang dengan efisien dan optimal. Salah satu teori lokasi yang mendasari pendistribusian lokasi fasilitas yang memberikan pelayanan berupa jasa adalah teori yang dikemukakan oleh Palander (dalam Agustin 2006). Menurut teori ini setiap kegiatan yang akan menghasilkan barang dan jasa mempunyai pertimbangan ambang penduduk dan jangkauan pasar. Yang dimaksud ambang penduduk (threshold population) adalah jumlah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk kelancaran dan kesinambungan penawaran barang. Kalau jumlah tersebut jatuh di bawah jumlah tertentu maka pelayanan akan menjadi mahal dan kurang efisien, begitu pula jika meningkat di atas jumlah tertentu maka pelayanan akan menjadi kurang baik dan kurang efektif. Sedangkan jangkauan pasar (range) adalah jarak yang perlu ditempuh seseorang untuk mendapatkan jasa yang bersangkutan. Lebih jauh dari jarak ini, maka orang. akan mencari tempat lain yang lokasinya lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan akan jasa yang sama.

Penentuan pendistribusian pusat pelayanan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu (Sujarto, 1989 dalam Agustin, 2006):
  1. Faktor manusia yang akan mempergunakan pusat-pusat pelayanan tersebut. Faktor manusia ini menyangkut pertimbangan-pertimbangan mengenai jumlah penduduk yang akan menggunakan pelayanan tersebut, kepadatan penduduk, perkembangan penduduk, status sosial ekonomi masyarakat, nilai-nilai, potensi masyarakat, pola kebudayaan, dan antropologi.
  2. Faktor lingkungan dimana manusia tersebut melaksanakan kegiatan kehidupannya. Ini menyangkut pertimbangan skala lingkungan dalam arti fungsi dan peranan sosial ekonominya, jaringan pergerakan, letak geografis lingkungan dan sifat keterpusatan lingkungan.

2.6.   Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Standar sarana dan prasarana ini merupakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007. Standar ini mencakup standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA). Ketentuan yang diatur dalam standar ini meliputi satuan pendidikan, luasan lahan, bangunan gedung, prasarana dan sarana yang harus dimiliki fasilitas pendidikan beserta ketentuannya. Dalam penelitian ini hanya akan meninjau mengenai satuan pendidikannya saja yang didalamnya diatur mengenai banyaknya rombongan belajar, batas maksimum jumlah penduduk yang dilayani, dan area pelayanan satu fasilitas pendidikan.
    A. Standar Satuan Pendidikan SD/MI
1.      Satu SD/MI memiliki minimum 6 rombongan belajar dan maksimum 24 rombongan belajar.
2.      Satu SD/MI dengan enam rombongan belajar melayani maksimum 2000 jiwa. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 2000 jiwa dilakukan penambahan rombongan belajar di sekolah yang telah ada, dan bila rombongan belajar lebih dari 24 dilakukan pembangunan SD/MI baru.
3.      Satu desa/kelurahan dilayani oleh minimum satu SD/MI.
4.      Satu kelompok permukiman permanen dan terpencil dengan banyak penduduk lebih dari 1000 jiwa dilayani oleh satu SD/MI dalam jarak tempuh bagi peserta didik yang berjalan kaki maksimum 3 km melalui lintasan yang tidak membahayakan.
    B. Standar Satuan Pendidikan SMP/MTs
1.      Satu SMP/MTs memiliki minimum 3 rombongan belajar dan maksimum 24 rombongan belajar.
2.      Satu SMP/MTs dengan tiga rombongan belajar melayani maksimum 2000 jiwa. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 2000 jiwa dilakukan  penambahan rombongan belajar di sekolah yang telah ada, dan bila rombongan belajar lebih dari 24 dilakukan pembangunan SMP/MTs baru.
3.      Satu kecamatan dilayani oleh minimum satu SMP/MTs yang dapat menampung semua lulusan SD/MI di kecamatan tersebut.
4.      Satu kelompok permukiman permanen dan terpencil dengan banyak penduduk lebih dari 1000 jiwa dilayani oleh satu SMP/MTs dalam jarak tempuh bagi peserta didik yang berjalan kaki maksimum 6 km melalui lintasan yang tidak membahayakan.
    C. Standar Satuan Pendidikan SMA/MA
1.      Satu SMA/MA memiliki minimum 3 rombongan belajar dan maksimum 27 rombongan belajar.
2.      Satu SMA/MA dengan tiga rombongan belajar melayani maksimum 6000 jiwa. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombongan belajar di sekolah yang telah ada atau pembangunan SMA/MA baru.

Dalam hal pendistribusian fasilitas pendidikan Departemen PU dalam standar yang dikeluarkannya telah menentukan beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan fasilitas pendidikan yaitu :
1.      Jumlah penduduk pendukung yang akan dilayani.
2.      Struktur penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin (untuk menentukan jenis dan tipe sekolah)
3.      Pertumbuhan dan perkembangan penduduk
4.      Keadaan sosial ekonomi penduduk.

2.8    Standar dan Ketentuan mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan SMP dan SMA
Standar sarana dan prasarana Departemen Pendidikan Nasional terbaru hanya memberikan batasan jarak sebagai kriteria layanan untuk daerah terpencil saja, sedangkan kriteria batasan jarak dan waktu tempuh untuk kondisi umum tidak diuraikan dalam standar ini. Untuk itulah maka standar sarana dan prasarana fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan yang dikeluarkan sebelumnya masih layak digunakan. Dalam Standar Fasilitas Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini dijelaskan kriteria lokasi fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas sebagai berikut:

A. Lokasi sebuah SMP harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan
  2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 30 menit berjalan kaki
  3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan/ perkantoran/ perindustrian)
B. Lokasi sebuah SMA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan
  2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 45 menit berjalan kaki
  3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan/ perkantoran/ perindustrian).

Selain dari Departemen Pendidikan Nasional, standar dalam penentuan lahan sekolah juga terdapat pada Pedoman Perencanaan Gedung Sekolah dari Departemen Pekerjaan Umum. Berdasarkan standar ini, lokasi bangunan sekolah perlu mempertimbangkan aspek-aspek:
1.         Lokasi disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan mendapat persetujuan pemerintah daerah bersangkutan untuk mendapatkan ijin pendirian bangunan termasuk rencana perluasan lahan dan bangunannya.
2.      Kepadatan dan potensi penduduk (prosentase penduduk usia sekolah) harus mendukung kegiatan pendidikan sehingga hal ini selain akan dapat menentukan lokasi sekolah juga dapat menentukan jenis dan tipe sekolah.
3.      Radius pencapaian ditentukan oleh jarak capai/ tempuh, faktor usia, kemampuan fisik siswa dan sarana transportasi. Radius pencapaian dari sekolah menengah umum ditentukan maksimum 5 km atau 1 jam perjalanan (berjalan kaki). Lokasi harus dihindarkan dari lalu lintas berkepadatan tinggi untuk menghindari kecelakaan dan kemacetan.
4.      Keadaan lingkungan sangat menentukan lokasi pembangunan fisik sekolah. Lingkungan dibedakan dalam lingkungan alami, yaitu geografi/ topografi, klimatologi, serta flora dan fauna, serta lingkungan buatan seperti prasarana, bangunan dan lingkungan masyarakat (sosial budaya dan sosial ekonomi).

2.9    Standar Penduduk Pendukung Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum
Tabel 2.1
Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU
Jenis Sarana Kota
Jumlah Penduduk
Pendukung (Jiwa)
Jarak

Luas lahan

SD
1600

Mudah dicapai
dengan radius
pencapaian
maksimum 1000
meter, dihitung
dari unit terjauh
2000 m2

SMTP
4800

Radius
maksimum 1000
meter
9000 m2

SMTA
4800
Radius
maksimum 3 km
dari unit yang
dilayani
1.       1 lantai 2.500 m2
2.       2 lantai 8000 m2
3.       3 lantai 5000 m2
Sumber: Penyempurnaan terhadap Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU, Tata Cara Perencanaan Linkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di Daerah Perkotaan, 2003 dalam Agustin 2006.

Standar jarak dan waktu tempuh untuk sarana fasilitas masyarakat menurut konsep Neighborhood Unit dibagi ke dalam lima kategori sebagai berikut:
Tabel 2.2
Jarak dan Waktu Tempuh dari Tempat Tinggal ke Lokasi Sarana
No.
Kategori
Jarak (meter)
Waktu Tempuh (menit)

Sangat dekat
0-300
0-5

Dekat
300-600
5-10

Sedang
600-1200
10-20

Cukup jauh
1200-3000
20-40

Jauh
>3000
>40
Sumber: Udjianto, 1994 dalam Agustin 2006

Kemudahan dalam penjangkauan lokasi fasilitas pendidikan dijelaskan oleh John Black (1979: 75), bahwa hendaknya dalam mengatur dan merencanakan lokasi fasilitas pendidikan (sekolah), perencana kota perlu memperhatikan system transportasi yang melayani, faktor jarak dari lokasi permukiman serta kesesuaian lahan dengan guna lahan lainnya.

sumber : di dapat dari berbagai macam sumber

2 komentar:

  1. mas kalo boleh tau apa nama judul buku untuk standar jarak diatas..?

    BalasHapus
  2. mas kalo boleh tau apa nama judul buku untuk standar jarak diatas..?

    BalasHapus